Senin, 02 November 2015

Siluman Tunas Singkong

Kakiku sudah bengkak. Kotor berlumur tanah coklat pekat. Karena lapar, maka lidah nakalku sedikit iseng tuk menjilat. Uweekk!! Ternyata tetap saja rasa tanah. Dasar Panjul penipu! Kata temanku yang satu ini, saat lapar menghampiri maka apa saja bisa kita makan. Yang penting kita bayangkan itu adalah makanan. Ternyata, itu adalah guyonan belaka. Sial ...! Tahu begitu, kenapa aku malah tetap mempercayai omongannya, ya?

Sekarang, aku dan Panjul sekarat. Kami tersesat. Rombongan meninggalkan kami  tanpa alasan yang kuat. Kata mereka, kami terlalu sulit diajak taat. Lagian, mereka jalan terus tanpa henti untuk sedikit saja istirahat. Bahkan, mereka mengabaikan ajakan panggilan sholat. Yang penting,  bisa keluar hutan dengan cepat dan selamat! Begitu ucap kelompok kami yang dipimpin Mamat. Ah ..., bodo amat! Aku tahu, hukum mematuhi pemimpin memang wajib, tapi tentu saja itu bersyarat. Yaitu selama ia tidak dalam jalan maksiat. Makanya, aku dan Panjul memilih keluar rombongan dan berserah diri pada Sang Maha Penyelamat.

Kutengok kanan-kiri. Kebetulan, terlihat ada kebun singkong. Kuharap, aku sedang tidak berimajinasi gila saat sedang lapar seperti ini. Maka untuk membuktikannya, kupaksa diri menuju kebun tersebut dengan kaki yang sudah hampir copot ini.

"Hei, Paijo ... mau kemana ente?" tegur Panjul yang juga sedang terkapar kelelahan. Kondisinya lebih parah dariku. Perut buncitnya sudah mengempis. Tingkat kelaparannya sudah di atas normal. Aku kasihan melihatnya. Hanya dia yang tersisa membersamaiku dalam perjalanan.

"Tunggu di sini sebentar, ya! Aku ingin mencari sesuatu yang bisa kita makan di sini," ujarku penuh yakin.

Sampai di kebun, kucoba meraih batang singkong yang sudah tumbuh besar tersebut. Kukerahkan seluruh sisa tenaga yang ada untuk sebisa mungkin mencabutnya.

Krek-kreek ... duaar!!

Akhirnya, tunas singkong itu tercabut. Namun aneh, suaranya mirip petasan korek saat dicabut. Sekarang, asapnya mengepul menutupi kemampuan pandangku. Aku heran, mengapa mencabut singkong saja bisa seperti ini? Sungguh kejadian yang aneh dan tak pernah kupercaya sebelumnya.

Asap masih mengepul tebal. Karena tak sabar, segera tanganku meraih batang pohon singkong yang kucabut tadi. Perlahan mulai meraba menuju tunasnya. Dan aneh sekali, tunas itu terasa begitu lembek. Lunak, licin, berlendir pula. Aku semakin penasaran dengan singkong aneh ini. Andai saja asap ini tidak ada, aku pasti bisa melihatnya.

Kugerayangi lagi bentuk singkong aneh ini. Tak lama, tunas-tunasnya bergerak-gerak. Kupegang erat, tapi ia seperti ular dan malah melilit-lilit tanganku. Aku yang sudah kehabisan tenaga pun kalah dan tak bisa menahan gerakan tunas itu. Tunas-tunas yang lunak dan berlendir itu kemudian memanjang, hendak melilit leherku.

"Panjuul ... tolong aku!!!" teriakku keras sekali.

Terdengar langkah kaki Panjul yang berlari mendekat. Aku ingin ia sesegera mungkin datang menolongku. Tunas lembek berlendir ini sudah mulai mencekikku. Aku geli, sekaligus nyeri. Lilitannya benar-benar seperti ular piton. Napasku juga jadi tersengal. Sesak. Tapi tunas lainnya malah menggelitikiku. Aku pun tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

"Tidaaaaakk!!!" teriak Panjul bersamaan dengan suara keras seperti sebuah benda yang jatuh, "Paijo, aku terperangkap jatuh ke lubang ...." teriak Panjul.

"Astaghfirullahalazhiim ..." bibirku menyebut asma-Nya.

Setelah kusebut zikir mohon ampun itu, seketika saja asap itu pun mulai hilang. Pandanganku juga mulai normal kembali. Aku benar-benar sedang menyaksikan sesuatu yang belum pernah terihat sebelumnya.

Aku terkejut luar biasa. Rupanya, yang melilitku ini adalah seekor cumi-cumi. Pohon singkong yang kucabut tadi ternyata tidak bertunas singkong sebagaimana biasanya. Tapi, ia bertunas cumi-cumi. Benar-benar diluar akal pikiran manusia.

Aku hampir pingsan. Tenagaku juga sudah mencapai titik penghabisan. Danger! Tubuh tak kuasa lagi menahan lilitan yang mencekik leher dan menghentikan napasku. Tenagaku juga ikut terkuras gara-gara sebagian cabang lainnya tadi menggelitikiku habis-habisan.

Aku tak mampu melakukan apa-apa lagi selain berzikir. Kusebut asmaNya penuh kekhusyuan dan pengharapan. Aku beristighfar, bertasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.

Ajaib! Semakin bibirku basah oleh zikir, maka cumi-cumi itu semakin mencair. Lilitannya itu melemah, dan kesempatan napasku semakin terbuka lebar. Tenagaku kembali pulih. Aku tersadar akan sesuatu. Ya, aku mulai mengetahui kuncinya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk merapal ayat-ayat suci Alqur'an. Maka terlantunlah surat-surat pendek yang kuhapal. Dan benar, cumi-cumi itu mencair lebih cepat. Tenagaku semakin bertambah. Dan akhirnya, akupun merasa seperti kembali dihidupkan. Nyawaku dikembalikan!

Aku membasuh muka sejenak. Dan yang terlihat sekarang di depanku adalah singkong yang sesungguhnya. Tidak ada sedikitpun bekas-bekas ada monster cumi-cumi yang mengerikan itu.

"Oiya, Panjul! Dimana dia?" Ingatanku kembali padanya. Dengan gesit segera kucari keberadaan temanku itu.

Rupanya, dia sedang tertidur lelap. Di tubuhnya pun tak ada sebaret luka sedikitpun. Aku sadar, ternyata aku telah dibutakan oleh setan. Hatiku tidak tenang karena jarang mengingat Tuhan. Mungkin inilah jawaban dari setiap kegelisahan. Inilah peringatan dari segala kelalaian. Dan inilah balasan bagi para pengikut hawa nafsu setan.

Robbana zholamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar